Advertisemen
![]() |
Pesantren Sultan Hasanuddin-Gowa |
Pesantren Sebagai Subkultur. Beberapa hari yang lalu, saya membaca essay almarhum Abdurrahman Wahid
atau lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur. Essay yang bercerita tentang
pesantren itu berjudul Pesantren sebagai Subkultur. Dalam essay ini diceritakan
bagaimana sebenarnya pesantren terbentuk dan posisinya dalam kehidupan
masyarakat umum. Oke, selanjutnya saya akan sedikit mengulas mengenai essay
sang pahlawan kemanusiaan ini.
Pada dasarnya, pesantren itu
terbentuk sebagai jawaban atas kegelisahan yang terjadi di tengah masyarakat. Kegelisahan
itu bisa bermacam-macam, baik berkaitan dengan sosial maupun dengan bidang yang
lain. Salah satu contoh misalnya, pesantren hadir di tengah kelompok masyarakat
yang gelisah dengan kehidupan sekitar dengan maraknya tindakan amoral atau
tindakan kriminal. Kehadiran pesantren di tengah masyarakat seperti ini sebagai
jawaban atas fenomena-fenomena yang ada di tengah masyarakat.
Kasus seperti di atas biasanya diawali dengan seorang ustad atau kyai
mengajar ilmu agama di tengah komunitas yang memiliki kegelisahan. Orang yang
belajar ilmu agama ini kemudian akan bertambah dari waktu ke waktu. Pertumbuhan
jumlah pelajar tersebut akan membentuk satu komunitas baru di tengan komunitas
yang diluputi kegelisahan tadi (menyimpang) yang pada perkembangan selanjutnya
akan berkembang menjadi pesantren.
Ustad atau kyai di sini bukan hanya sekadar seorang pengajar. Akan
tetapi, dia menjadi inspirator atau bahkan menjadi tutor of life bagi
santri-santrinya. Sang kyai biasanya akan menjadi penyokong moral bagi santri-santrinya
bahkan bisa sampai kepada permasalahan pribadi santrinya. Hal inilah yang
menjadikan kyai memiliki hubungan emosional yang teramat kuat dengan
santri-santrinya.
Merujuk kepada asal terbentuknya pesantren di atas, maka wajar saja
pesantren disebut oleh Gus Dur sebagai sebuah subkultur. Artinya pesantren
memiliki sistem nilai, adat istiadata, dan stratifikasi sendiri yang berkaitan
dengan kehidupan sosialnya. Bisa saja sebuah pesantren memiliki tata nilai
tersendiri yang berbeda dengan masyarakat yang ada di sekitar pesantren
meskipun masyarakat tersebut memiliki usia yang lebih lama.
Adanya perbedaan nilai antara pesantren dan masyarakat sekitarnya akan
menimbulkan sebuah pertarungan nilai antara yang berlaku di masyrakat dan
pesantren itu sendiri. Dalam beberapa kasus di Jawa, banyak pesantren yang
mampu mempertahankan tata nilai yang mereka anut dan tidak terkalahkan oleh
masyarakat yang ada di sekitarnya. Hal ini yang menyebabkan pesantren dapat
bertahan hingga berabad-abad lamanya.
Baca Juga: Agama, Teknologi dan Sains Modern
Salah satu nilai yang melekat dan mungkin menjadi ciri khas sebuah
pesantren adalah kezuhudan atau tidak terikat dengan hal yang bersifat duniawi.
Saya sendiri menerjemahkannya sebagai sebuah kesederhanaan. Selain itu, tata
nilai di pesantren itu dibangun di atas fondasi ilmu fikih. Sehingga semua
tindakan yang bertentangan dengan syariat tentu tidak akan memiliki tempat di
dalam pesantren.
Tata nilai yang mengakar kuat di pesantren ini tidak terlepas dari dua
hal yang menjadi metode pengajaran nilai
tersebut.Yang pertama adalah peniruan dan kedua adalah pengekangan. Peniruan
ini sebenarnya mengadopsi metode pembinaan yang dilakukan oleh Rasulullah
kepada sahabatnya. Dalam hal ini, rasul menjadi contoh dari ajaran atau nilai
yang ingin ditanamkannya kepada sahabat-sahabatnya. Sedangkan yang kedua adalah
pengekangan. Pengekangan ini adalah menjadi dampak bagi mereka yang melanggar
tata nilai dari pesantren. Pengucilan bahkan pengusiran dari lingkungan
pesantren bagi mereka yang melanggar nilai-nilai yang telah disepakati oleh
pesantren. Pengusiran dari pondok ini merupakan sebuah hukuman yang amat berat,
selain sebagai bentuk penolakan dari semua pihak yang bersangkutan dengan
dirinya, dia juga kehilangan dukungan moral dari ustad, pengasuh atau kyainya.
Beberapa kultur pesantren di atas menurut saya menjadi indikator bisa
atau tidaknya pesantren bertahan di tengah arus perubahan yang teramat kuat.
Pesantren yang tidak memiliki seseorang yang mampu menjadi inspirator atau tutor
of life bagi santrinya akan menyebabkan alumninya tidak memiliki kesetiaan
pada pondoknya. Ketidak setiaan alumni ini pada pondoknya bisa berupa lupanya
seorang santri/eks santri akan nilai-nilai yang dia anut selama nyantri yang
erat dengan ajaran akhlak dan fikih. Atau bisa saja ketidak setiaan itu
berbentuk lupanya seorang santri akan pesantrennya dan segalanya dianggap
sebagai hal yang biasa saja.
Demikian pula nilai dengan nilai kezuhudan. Ketika materi keduniawian
sudah memiliki pengaruh yang lebih kuat dibandingkan dengan kezuhudan tadi,
maka pesantren tidak akan bisa memberikan jawaban terhadap permasalah ekonomi
liberal. Bahkan bisa saja dalam perkembangan selanjutnya, pesantren akan
menjadi sebuah tempat mencetak uang daripada tempat mencetak kaum fakih yang
paham akan agama.
Namun, ketika nilai-nilai kekhasan pesantren bisa dipertahankan, maka
dia akan tetap menjadi sebuah komunitas yang memberikan jawaban atas
permasalahan dan kegelisahan yang terjadi di masyarakat.
Untuk mengenai unsur-unsur pesantren, semoga kita bisa berjumpa di tulisan yang lain. Wassalam.
Add Comments