-->

Pesantren Sebagai Subkultur (Catatan dari Essay Gusdur)

Advertisemen
https://bahasaarabkeagamaan.blogspot.com/2019/04/pesantren-sebagai-subkultur-catatan.html
Pesantren Sultan Hasanuddin-Gowa

Pesantren Sebagai SubkulturBeberapa hari yang lalu, saya membaca essay almarhum Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur. Essay yang bercerita tentang pesantren itu berjudul Pesantren sebagai Subkultur. Dalam essay ini diceritakan bagaimana sebenarnya pesantren terbentuk dan posisinya dalam kehidupan masyarakat umum. Oke, selanjutnya saya akan sedikit mengulas mengenai essay sang pahlawan kemanusiaan ini.
Pada dasarnya, pesantren itu terbentuk sebagai jawaban atas kegelisahan yang terjadi di tengah masyarakat. Kegelisahan itu bisa bermacam-macam, baik berkaitan dengan sosial maupun dengan bidang yang lain. Salah satu contoh misalnya, pesantren hadir di tengah kelompok masyarakat yang gelisah dengan kehidupan sekitar dengan maraknya tindakan amoral atau tindakan kriminal. Kehadiran pesantren di tengah masyarakat seperti ini sebagai jawaban atas fenomena-fenomena yang ada di tengah masyarakat.
Kasus seperti di atas biasanya diawali dengan seorang ustad atau kyai mengajar ilmu agama di tengah komunitas yang memiliki kegelisahan. Orang yang belajar ilmu agama ini kemudian akan bertambah dari waktu ke waktu. Pertumbuhan jumlah pelajar tersebut akan membentuk satu komunitas baru di tengan komunitas yang diluputi kegelisahan tadi (menyimpang) yang pada perkembangan selanjutnya akan berkembang menjadi pesantren.
Ustad atau kyai di sini bukan hanya sekadar seorang pengajar. Akan tetapi, dia menjadi inspirator atau bahkan menjadi tutor of life bagi santri-santrinya. Sang kyai biasanya akan menjadi penyokong moral bagi santri-santrinya bahkan bisa sampai kepada permasalahan pribadi santrinya. Hal inilah yang menjadikan kyai memiliki hubungan emosional yang teramat kuat dengan santri-santrinya.
Merujuk kepada asal terbentuknya pesantren di atas, maka wajar saja pesantren disebut oleh Gus Dur sebagai sebuah subkultur. Artinya pesantren memiliki sistem nilai, adat istiadata, dan stratifikasi sendiri yang berkaitan dengan kehidupan sosialnya. Bisa saja sebuah pesantren memiliki tata nilai tersendiri yang berbeda dengan masyarakat yang ada di sekitar pesantren meskipun masyarakat tersebut memiliki usia yang lebih lama.
Adanya perbedaan nilai antara pesantren dan masyarakat sekitarnya akan menimbulkan sebuah pertarungan nilai antara yang berlaku di masyrakat dan pesantren itu sendiri. Dalam beberapa kasus di Jawa, banyak pesantren yang mampu mempertahankan tata nilai yang mereka anut dan tidak terkalahkan oleh masyarakat yang ada di sekitarnya. Hal ini yang menyebabkan pesantren dapat bertahan hingga berabad-abad lamanya.
Baca Juga: Agama, Teknologi dan Sains Modern
Salah satu nilai yang melekat dan mungkin menjadi ciri khas sebuah pesantren adalah kezuhudan atau tidak terikat dengan hal yang bersifat duniawi. Saya sendiri menerjemahkannya sebagai sebuah kesederhanaan. Selain itu, tata nilai di pesantren itu dibangun di atas fondasi ilmu fikih. Sehingga semua tindakan yang bertentangan dengan syariat tentu tidak akan memiliki tempat di dalam pesantren.
Tata nilai yang mengakar kuat di pesantren ini tidak terlepas dari dua hal  yang menjadi metode pengajaran nilai tersebut.Yang pertama adalah peniruan dan kedua adalah pengekangan. Peniruan ini sebenarnya mengadopsi metode pembinaan yang dilakukan oleh Rasulullah kepada sahabatnya. Dalam hal ini, rasul menjadi contoh dari ajaran atau nilai yang ingin ditanamkannya kepada sahabat-sahabatnya. Sedangkan yang kedua adalah pengekangan. Pengekangan ini adalah menjadi dampak bagi mereka yang melanggar tata nilai dari pesantren. Pengucilan bahkan pengusiran dari lingkungan pesantren bagi mereka yang melanggar nilai-nilai yang telah disepakati oleh pesantren. Pengusiran dari pondok ini merupakan sebuah hukuman yang amat berat, selain sebagai bentuk penolakan dari semua pihak yang bersangkutan dengan dirinya, dia juga kehilangan dukungan moral dari ustad, pengasuh atau kyainya.
Beberapa kultur pesantren di atas menurut saya menjadi indikator bisa atau tidaknya pesantren bertahan di tengah arus perubahan yang teramat kuat. Pesantren yang tidak memiliki seseorang yang mampu menjadi inspirator atau tutor of life bagi santrinya akan menyebabkan alumninya tidak memiliki kesetiaan pada pondoknya. Ketidak setiaan alumni ini pada pondoknya bisa berupa lupanya seorang santri/eks santri akan nilai-nilai yang dia anut selama nyantri yang erat dengan ajaran akhlak dan fikih. Atau bisa saja ketidak setiaan itu berbentuk lupanya seorang santri akan pesantrennya dan segalanya dianggap sebagai hal yang biasa saja.
Demikian pula nilai dengan nilai kezuhudan. Ketika materi keduniawian sudah memiliki pengaruh yang lebih kuat dibandingkan dengan kezuhudan tadi, maka pesantren tidak akan bisa memberikan jawaban terhadap permasalah ekonomi liberal. Bahkan bisa saja dalam perkembangan selanjutnya, pesantren akan menjadi sebuah tempat mencetak uang daripada tempat mencetak kaum fakih yang paham akan agama.
Namun, ketika nilai-nilai kekhasan pesantren bisa dipertahankan, maka dia akan tetap menjadi sebuah komunitas yang memberikan jawaban atas permasalahan dan kegelisahan yang terjadi di masyarakat.
Untuk mengenai unsur-unsur pesantren, semoga kita bisa berjumpa di tulisan yang lain. Wassalam.

Advertisemen